17 September 2012

Melawan Lupa di BALI BEZA
















Melawan Lupa: Narasi-Narasi Komunitas Taman 65 Bali
xxiii, 213 Hlm. Taman 65 Press, 2012

Bali dan Tragedi 1965 PERIODE 1965-1966 menyisakan sebuah sejarah pahit bagi bumi nusantara. Tidak terkecuali Bali, sebuah pulau yang selama ini dikenal di mancanegara sebagai daerah yang cinta damai hingga menjadi ‘surga’ bagi para pelancong, pebisnis hingga peneliti. Justru banyak pengamat menyatakan bahwa pembantaian pada era 1965-1966 di Bali berlangsung lebih sadis dan liar di banding di Jawa, misalnya, karena tidak sedikit orang yang sama sekali tidak pernah terlibat dalam partai politik menjadi korban kekerasan politik ‘massal’.

Selain data yang diberikan pihak militer kepada para tameng kurang valid, menurut banyak pengamat, momentum ini kemudian menjadi kesempatan bagi para tameng, pemegang kekuasaan politik, adat dan ekonomi, serta free-rider di tingkat lokal untuk menyingkirkan lawan-lawannya. Bahkan konflik laten dalam keluarga, misalnya perebutan tanah warisan, ataupun dalam pergaulan anak muda, seperti sakit hati karena rebutan perempuan, juga mendapatkan kesempatan tepat untuk termanifestasi menjadi konflik terbuka.

Peristiwa ini menjadi momen penting bagi Bali tidak saja dalam konteks kemanusiaan tapi juga merubah peta sosial dan dinamika intelektual-nya. Dalam konteks kemanusiaan, jelas bahwa tragedi ini menyisakan kepahitan cerita-cerita dari para suvivor dan keluarga korban serta memberikan trauma yang sedemikian besar bagi masyarakat Bali terlebih lagi ada sebuah klaim yang menyatakan bahwa setiap keluarga besar di Bali kehilangan paling tidak satu orang anggota keluarganya dalam kekerasan politik ini. Trauma ini menjadi semakin kuat ketika bahasa-bahasa negara juga digunakan oleh masyarakat sendiri untuk tetap memelihara ketakutan dan ketertundukan terhadap negara, misalnya dengan menstigma orang-orang yang aktif dalam gerakan sosial dengan istilah ‘komunis’ atau anak-anak nakal akan dilabelkan sebagai ‘anak/cucu komunis’ dan juga ‘tumitisan komunis’ (reinkarnasi dari seorang leluhur komunis)

Peristiwa kekerasan politik di Bali 1965-1966 juga berdampak pada perubahan peta sosial dan intelektual di Bali. Sekali lagi, yang dibantai pada era tersebut tidak saja orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI, tetapi juga kaum-kaum intelektual publik yang menjadi sandaran bagi rakyat untuk memperjuangkan keadilan sosial. Praktis paska 1965-1966, dinamika intelektual publik di Bali mengalami kemandekan, yang ada justru intelektual yang mengabdikan diri pada kekuasaan Orde Baru dengan menjadi komprador-komprador investasi pariwisata yang sedang dicanangkan pemerintah pusat. Organiser-organiser rakyat yang bekerja di akar rumput juga tidak luput dari pembantaian; selain itu, depolitisasi subak dilakukan sehingga subak tidak lagi menjadi organisasi yang memiliki sistem politik dan ekonomi yang mandiri dan menjadi basis gerakan rakyat tetapi dirubah menjadi kelompok petani yang semata-mata mengurusi pembagian air.

Alhasil, pengambilan tanah-tanah rakyat atas nama pembangunan pun hampir tidak memperoleh perlawanan yang berarti dari rakyat. Pariwisata massal dibangun di atas penggusuran rakyat dan di atas lahan-lahan yang dipercaya tadinya merupakan kuburan massal. Doktrin ‘Sapta Pesona’ diperkenalkan, dimana setiap orang Bali harus mengikuti pembangunan pariwisata massal dan mengkontruksi diri menjadi apa yang diharapkan para turis yang berkunjung.

Tentu saja sebagai kawasan pariwisata, sedapat mungkin harus disterilkan dari hal-hal yang berbau politik terlebih lagi akibat trauma kekerasan politik. Jadilah ekonomi pariwisata sebagai panglima di Bali. Dengan demikian, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, pemiskinan, dan ketidakadilan ruang di Bali tidaklah bisa dilepaskan dari peristiwa penting yang terjadi pada 1965-1966 karena peristiwa inilah yang menjadi pintu masuk permasalahan Bali kontemporer. (dari Kata Pengantar)

Daftar Isi:

Kata Pengantar

BAB I KESEJARAHAN
Tanah, Landreform Dan Kemelut 1965 oleh Roro Sawita
“De Raka” Sebuah Tutur Untuk Rekonsiliasi oleh Agung Alit
Suara Hati Suara Yang Ditinggal oleh Ibu Mayun
Benarkah Kakekku Tameng? oleh Indra Kusuma
Bom Waktu Di Bali: Warisan Konflik Tragedi 65 Di Bali oleh Gde Putra
Language Of The State oleh Dewa Keta
Riwayat Kakekku oleh Man Angga

BAB II DINAMIKA KOMUNITAS
Taman 65: Retak Tapi Tak Pecah oleh Degung Santikarma
Mendiagnosa Keluarga Melalui Kekerasan Negara oleh Ngurah Termana
Rumah Sejarah “Ingatan” Kita oleh Ngurah Karyadi
Hiruk-Pikuk Taman 65 oleh Ika Alvania
Eksperimen Para Pengiwa oleh Agung Wardana

BAB III PERGULATAN NILAI
Rumah Ku Dan “Hotel Tugu” oleh Wahagus
Perempuan-Perempuan Perkasa oleh Yogi Mitha
Remaja Nikah Muda Berujung Hiv oleh Ike Widari
Musik Sebagai Media Pembebasan oleh Candra
Kamu Perempuan Yang Beda oleh Mangming

Ngurah Termana

Ngurah Termana adalah seorang aktivis komunitas Taman 65 Bali; komunitas diskusi dan belajar yang berfokus pada isu-isu HAM dan keadilan sosial tentang peristiwa 65 di Bali. Berpengalaman bekerja di berbagai bidang mulai dari Forum Fair Trade Indonesia hingga sekarang menjadi ketua Yayasan Seni Sana Seni Bali. Dia menganggap penting pendekatan multi bidang disiplin dalam memperjuangkan kehidupan yang lebih memihak kemanusiaan dan kerakyatan. "Pemisahan antara ruang kebudayaan, ruang aktivisme serta intelektualisme, merupakan agenda penguasa yang korup," tuturnya.Ngurah Termana sering di undang dalam berbagi forum untuk berbicara seputar isu HAM, politik, sosial dan kebudayaan baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kini beliau turut aktif mempopularkan pelancongan alternatif menerusi Alt-ourism

Roro Sawita

Lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana Pekerjaan : Sejak Tahun Tahun 2001-sekarang terlibat aktif dalam komunitas korban 65 Bali. mengambil bidang dokumentasi dan advokasi terhadap pelanggaran HAM masa lalu. pemerhati bidang sosial-politik dan menulis beberapa kisah hidup korban dan surviver 65 Bali.

Dapatkan buku menarik ini beserta diskusi bersama aktivis dari Taman 65 Bali di 'Bali Beza' 30 September nanti. Klik di sini untuk maklumat lanjut tentang Bali Beza dan di sini untuk RSVP di Facebook.

1 comment:

  1. peritiwa 1965 tak disangka meyayat hati.....

    ReplyDelete