PETANG PENUH PUJAAN
: Desa Tenganan
Bila ini
sudah waktunya,
Maka
menarilah
sebagaimana
biasa
Seperti dedaunan
pada bukit dan
hutan kayu
Atau tirukan
suara kuda itu
yang menyisakan
penggal jejak
di dinding batu
Desa tua ini
Di mana seekor
lebah
tertidur lelah
di ujung atap
Mengigau tentang
kemilau embun
yang jatuh di
rambutmu
di petang
penuh pujaan ini
Menarilah bagai
Setangkai ranting
di mana alunan
surgawi
mungkin
menghanyutkanmu
ke mata air
Kembali
pada ruh
Kepada
tubuh
tak tersentuh
yang
menyelipkan namamu
di celah
indah sebatang pohon
tempat
tinggal para leluhur
Sentuhkan
jarimu
pada genang cahaya
dan
junjunglah doa ini
Hingga tak
ada dewa
yang
memberimu dosa
Ujarkan
pula padanya
Tentang
wangi dupa
dan asap bunga
yang
mengawankan angan
masa depan
seorang belia
atau seekor
lebah tua setia
yang mati sia-sia
Menarilah
saudaraku
Seperti nyanyian
surgawi
Seperti ingatan
pada leluhur
yang tak kuasa
tiada
POTRET DI ATAS MEJA
Aku tak bisa menulis
sajak
seperti sajakmu
walau
malam khusuk
dan kenangan tersedih
menarik cemasku
Tak ada lagi perasaan
menggebu
dan kata-kata
yang ingin disusun ulang
jadi serindang pohonmu
Aku hanya menatap potret
anak kuda
lari di atas meja
di bawah nyala lampu
yang
menerangi pertanyaanku
Dunia menampung dongeng indah
yang belum terbayarkan oleh kenyataan
Apa puisi cukup puas
menyadurnya?
Pada perpustakaan
kutemui uraian
pengetahuan,
penjelasan aneka ilmu
dan hakikat manusia
Bagaimana puisi mesti
menggali?
Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang
belum sempat kutanggalkan
Tetapi aku tak tahu
dengan baju apa harus
kutemui
puisi paling murni dalam
diri
Di
atas mejaku, seekor anak kuda melenggang
kepolosannya yang riang
menatap hidup dengan mata
bercahaya
Saat itu
aku menyadari
setiap orang memiliki jalan
dan
aku tak pilih jalanmu
Aku percaya
sebagaimana imanku
pada keindahan
2012
DINI HARI
Begitulah
tanganmu
menyamar waktu
Melambai sepenuh
sungguh
Serupa kepak
sunyi
seekor burung
yang sendiri
Bukanlah lagi
secangkir kopi
Menemaniku di
tiap denting
dini hari
yang berayun
lambat
di taman kota
Tetapi justru
bayangmu
Pada tetes cahaya
bulan
dan sisa bir
semalam
milik si tua pucat
yang lelap
di bawah tiang
lampu jalan
Kaulah stasiun
tujuan
bagi seorang gadis
dan tiket terakhirnya yang basah
oleh embun
sebatang pohon
mati
atau angan seekor
katak
yang lupa cara
melompat
Begitulah lonceng
seketika berbunyi
dan siapapun
bergegas kembali
ke rumah tua
yang abadi
Menuju tempat
kelahiran,
ingatan masa silam yang urung usai
Atau sebuah taman
penuh kenangan
di mana tak
seekor ulat pun
menyelinap di
pucuk kuldi
Atau mungkinkah
segalanya cuma
kisah?
Tak
seorang pun
akan
kembali menjadi dirimu
menyamar
mawar, atau
kepak
pilu seekor burung
Tak ada
tiket-tiket penyeberangan
bagi
harapan di hari kelahiran yang baru
tak ada si tua
mengigaukan tanganmu yang pucat
dan sisa cahaya telah tumpah
pada tetes
secangkir bis yang terakhir
Begitulah
detik selalu berguguran
Di sebuah
taman
di kota ini
Di satu
dini hari
yang
sungguh
serupa
dirimu
SEBUAH PAGI
Ini pagi yang cerah
bagi gadis kecil itu
yang mengayuh sepeda
menuju sekolah
Pukul 07.30
duduk berkeringat di
bangku kelas
rok lecak kena bercak air
lumpur
di bawahnya, sepasang
sepatu kumal
malu-malu terdiam
Seekor semut mengintai
terlalu kepingin tinggal
di dalamnya
sebab dunia di luar
sepatu
seringkali lebih sengit
dan muram
Ada kotak mungil
di kantung baju gadis
kecil
tempatnya menyimpan bekas
permen karet
dan wajah-wajah rahasia
untuk sebaris sajak tak
selesai
yang ingin disimpannya
hingga dewasa
Pukul 09.30
tiba waktu istirahat para
guru
anak-anak berlarian
keluar
gadis kecil bermain
lompat tali
jalinan karet yang rumit
semoga hidupnya kelak tak
sepelik itu!
Sekilas tampak bersuka
cita
dengan mata paling riang
coba melupakan makan
siang
Nasi dan lauk buatan ibu
masih setia menantimu
tahanlah sebentar
sampai berdentang
lonceng waktu pulang
Gadis kecil kembali ke
bangku kelas
belajar keras
saat bosan, berayun-ayun
sepatunya
mengetuk-ngetuk pelan
kaki meja
Tetapi seekor semut
terbangun dari tidur
menggigit jari si gadis
dan seketika ia kesakitan
seolah tersadar akan
belantara dunia
yang kelak bakal
ditempuhnya
dengan laju waktu dan doa
ibunda
2012
KOTA INI
Kota kecil ini
seperti bibirmu yang ragu
di malam
itu
tiap jalan menitipkan bimbang
ingin mainan
sekadar riang
tak ada yang bertanya
pada pohon – pohon
yang juga ingin
sekadar basah
sebab hujan jarang
datang
Kota ini
seperti sepatuku
di bawah terik matahari
ingin berlari
ingin sembunyi
tapi terlanjur ingin
DUA TUKANG SAPU
Dua
tukang sapu
menyeberang jalan
menyeberang jalan
pagi
itu
kembali
untuk hari
bagai doa pohon tua
dua
tukang sapu
bertukar
gurau
waktu
lembab di topinya
sebelum
tiba di seberang
daun
gugur seperti biasa
lampu
padam pukul enam
dua
tukang sapu
berteduh di sela pohon
mengingat nama-nama anaknya
sementara seekor kumbang
meniru bentuk sayap
yang tak lagi dimilikinya
sementara seekor kumbang
meniru bentuk sayap
yang tak lagi dimilikinya
cahaya pagi meluncur
ke dalam angan
membentuk sepotong roti
untuk mereka bagi
ke dalam angan
membentuk sepotong roti
untuk mereka bagi
: Lech Kaczynski
Layangkan sayapmu
di keluasan Smolensk
hingga kabut lenyap
melesat ke hutan
atau larilah ke kapel
mencari pengharapan
Seperti laba-laba meluncur dari sarang
melilit di tangan sebuah patung,
mengintai kupu-kupu liar
terbang sendiri di hutan sunyi
Apa yang tersulut dalam benakmu
Menuju angkasa Rusia
untuk 70 tahun sejarah kelam
sementara di awan tak tertera tanda bahaya
dan setiap nujum terabaikan?
Apa yang tersisa dari ingatan
menjelang datangnya kematian?
Kenangan klasik di waktu kanak,
masa gemilang saat dewasa
atau ribuan ruh rakyat
yang hendak kau akrabi kini?
Seekor laba-laba tersengat lebah yang mabuk
keduanya mati
tak sempat mengingat pohon pertama
tempatnya dulu dilahirkan
Pada batu dan tebing
tersirat segala kisah
juga senyap suara senapan
dan desing waktu
Melaju di keluasan Smolensk
Kau dengar suara sungai di kejauhan
Seperti ribuan tawanan perang
menyaksikan cahaya pagi
tanpa rasa sakit
tanpa luapan harapan
Di Katyn
setiap kisah punya makam
di mana kupu-kupu istirah
menunggu kabut lenyap
atau sarang laba-laba penjerat
2012
Frischa Aswarini, lahir di
Denpasar 17 Oktober 1991. Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Udayana. Kini
aktif dalam kegiatan kepanitiaan dan berkesenian di Komunitas Sahaja, Denpasar.
Puisinya pernah dimuat di Bali Post, Jurnal Sundih, Pikiran Rakyat, Tempo,
Kompas, dan telah dibukukan, termasuk dalam antologi puisi bersama Kampung dalam Diri, Temu Penyair Muda
Lima Kota (Payakumbuh, 2008), antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia II Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), beberapa
sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan dibukukan dalam antologi Coleur Femme, Forum Jakarta-Paris,
Alliance Francaise (2011).
Beliau akan tampil di program Bali Beza yang akan diadakan pada 30hb September 2012 di Map @ Publika. klik di sini untuk maklumat lanjut
terbaik..
ReplyDeletekeren frisca.....
ReplyDeletecantik. orangnya. juga puisinya
ReplyDelete