19 September 2012

Puisi-puisi Frischa Aswarini
























PETANG PENUH PUJAAN
            : Desa Tenganan

Bila ini sudah waktunya,
Maka menarilah
sebagaimana biasa
Seperti dedaunan
pada bukit dan hutan kayu

Atau tirukan suara kuda itu
yang menyisakan penggal jejak
di dinding batu
Desa tua ini

Di mana seekor lebah
            tertidur lelah
            di ujung atap
Mengigau tentang kemilau embun
yang jatuh di rambutmu
di petang
penuh pujaan ini

Menarilah bagai
Setangkai ranting
di mana alunan surgawi
mungkin menghanyutkanmu
ke mata air

Kembali pada ruh
Kepada tubuh
tak tersentuh

yang menyelipkan namamu
di celah indah sebatang pohon
tempat tinggal para leluhur

Sentuhkan jarimu
pada genang cahaya
dan junjunglah doa ini
Hingga tak ada dewa
yang memberimu dosa

Ujarkan pula padanya
Tentang wangi dupa
            dan asap bunga
yang mengawankan angan
masa depan seorang belia
atau seekor lebah tua setia
yang mati sia-sia

Menarilah saudaraku
Seperti nyanyian surgawi
Seperti ingatan pada leluhur
yang tak kuasa
tiada

POTRET DI ATAS MEJA

Aku tak bisa menulis sajak
seperti sajakmu
walau malam khusuk
dan kenangan tersedih
menarik cemasku

Tak ada lagi perasaan menggebu
dan kata-kata
yang ingin disusun ulang
jadi serindang pohonmu

Aku hanya menatap potret anak kuda
lari di atas meja
di bawah nyala lampu
yang menerangi pertanyaanku

Dunia menampung dongeng indah
yang belum terbayarkan oleh kenyataan
Apa puisi cukup puas menyadurnya?

Pada perpustakaan
kutemui uraian pengetahuan,
penjelasan aneka ilmu
                        dan hakikat manusia
Bagaimana puisi mesti menggali?

Aku telah jatuh hati
pada sajak banyak penyair
dan membiarkannya
jadi pakaian penghangat
yang belum sempat kutanggalkan

Tetapi aku tak tahu
dengan baju apa harus kutemui
puisi paling murni dalam diri

Di atas mejaku, seekor anak kuda melenggang
kepolosannya yang riang
menatap hidup dengan mata bercahaya

Saat itu
aku menyadari
setiap orang memiliki jalan
dan aku tak pilih jalanmu

Aku percaya
sebagaimana imanku
pada keindahan

2012

DINI HARI

Begitulah tanganmu
menyamar waktu
Melambai sepenuh sungguh
Serupa kepak sunyi
seekor burung
    yang sendiri

Bukanlah lagi secangkir kopi
Menemaniku di tiap denting
dini hari
yang berayun lambat
di taman kota

Tetapi justru bayangmu
Pada tetes cahaya bulan
dan sisa bir semalam
milik si tua pucat
yang lelap
di bawah tiang lampu jalan

Kaulah stasiun tujuan
bagi seorang gadis
dan tiket terakhirnya yang basah
oleh embun
sebatang pohon mati
atau angan seekor katak
yang lupa cara melompat

Begitulah lonceng seketika berbunyi
dan siapapun bergegas kembali
ke rumah tua
            yang abadi

Menuju tempat kelahiran,
            ingatan masa silam yang urung usai
Atau sebuah taman penuh kenangan
di mana tak seekor ulat pun
menyelinap di pucuk kuldi

Atau mungkinkah
segalanya cuma kisah?
Tak seorang pun
akan kembali menjadi dirimu
menyamar mawar, atau
kepak pilu seekor burung

Tak ada tiket-tiket penyeberangan
bagi harapan di hari kelahiran yang baru
tak ada si tua
mengigaukan tanganmu yang pucat
dan sisa cahaya telah tumpah
pada tetes
secangkir bis yang terakhir

Begitulah detik selalu berguguran
Di sebuah taman
            di kota ini
Di satu dini hari
yang sungguh
serupa dirimu

SEBUAH PAGI

Ini pagi yang cerah
bagi gadis kecil itu
yang mengayuh sepeda
menuju sekolah

Pukul 07.30
duduk berkeringat di bangku kelas
rok lecak kena bercak air lumpur
di bawahnya, sepasang sepatu kumal
malu-malu terdiam
Seekor semut mengintai
terlalu kepingin tinggal di dalamnya
sebab dunia di luar sepatu
seringkali lebih sengit dan muram

Ada kotak mungil
di kantung baju gadis kecil
tempatnya menyimpan bekas permen karet
dan wajah-wajah rahasia
untuk sebaris sajak tak selesai
yang ingin disimpannya hingga dewasa

Pukul 09.30
tiba waktu istirahat para guru
anak-anak berlarian keluar
gadis kecil bermain lompat tali
jalinan karet yang rumit
semoga hidupnya kelak tak sepelik itu!

Sekilas tampak bersuka cita
dengan mata paling riang
coba melupakan makan siang
Nasi dan lauk buatan ibu
masih setia menantimu
tahanlah sebentar
sampai berdentang
lonceng waktu pulang

Gadis kecil kembali ke bangku kelas
belajar keras
saat bosan, berayun-ayun sepatunya
mengetuk-ngetuk pelan kaki meja
Tetapi seekor semut terbangun dari tidur
menggigit jari si gadis
dan seketika ia kesakitan
seolah tersadar akan belantara dunia
yang kelak bakal ditempuhnya
dengan laju waktu dan doa ibunda

2012


KOTA INI

Kota kecil ini
seperti bibirmu yang ragu
di malam itu

tiap jalan menitipkan bimbang
ingin mainan sekadar riang

tak ada yang bertanya
pada pohon – pohon
yang juga ingin sekadar basah
sebab hujan jarang datang

Kota ini
seperti sepatuku
di bawah terik matahari
ingin berlari
ingin sembunyi
tapi terlanjur ingin


DUA TUKANG SAPU

Dua tukang sapu
menyeberang jalan
pagi itu

kembali untuk hari
bagai doa pohon tua
dua tukang sapu
bertukar gurau
waktu lembab di topinya

sebelum tiba di seberang
daun gugur seperti biasa
lampu padam pukul enam

dua tukang sapu
berteduh di sela pohon
mengingat nama-nama anaknya
sementara seekor kumbang
meniru bentuk sayap
            yang tak lagi dimilikinya

cahaya pagi meluncur
ke dalam angan
membentuk sepotong roti
untuk mereka bagi


DI KATYN
            : Lech Kaczynski 

Layangkan sayapmu
di keluasan Smolensk
hingga kabut lenyap
melesat ke hutan
atau larilah ke kapel
mencari pengharapan

Seperti laba-laba meluncur dari sarang
melilit di tangan sebuah patung,
mengintai kupu-kupu liar
terbang sendiri di hutan sunyi

Apa yang tersulut dalam benakmu
Menuju angkasa Rusia
untuk 70 tahun sejarah kelam
sementara di awan tak tertera tanda bahaya
dan setiap nujum terabaikan?

Apa yang tersisa dari ingatan
menjelang datangnya kematian?
Kenangan klasik di waktu kanak,
masa gemilang saat dewasa
atau ribuan ruh rakyat
yang hendak kau akrabi kini?

Seekor laba-laba tersengat lebah yang mabuk
keduanya mati
tak sempat mengingat pohon pertama
tempatnya dulu dilahirkan

Pada batu dan tebing
tersirat segala kisah
juga senyap suara senapan
dan desing waktu

Melaju di keluasan Smolensk
Kau dengar suara sungai di kejauhan
Seperti ribuan tawanan perang
menyaksikan cahaya pagi
tanpa rasa sakit
tanpa luapan harapan

Di Katyn
setiap kisah punya makam
di mana kupu-kupu istirah
menunggu kabut lenyap
atau sarang laba-laba penjerat

2012


Frischa Aswarini, lahir di Denpasar 17 Oktober 1991. Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Udayana. Kini aktif dalam kegiatan kepanitiaan dan berkesenian di Komunitas Sahaja, Denpasar. Puisinya pernah dimuat di Bali Post, Jurnal Sundih, Pikiran Rakyat, Tempo, Kompas, dan telah dibukukan, termasuk dalam antologi puisi bersama Kampung dalam Diri, Temu Penyair Muda Lima Kota (Payakumbuh, 2008), antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia II Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), beberapa sajaknya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan dibukukan dalam antologi Coleur Femme, Forum Jakarta-Paris, Alliance Francaise (2011).

Beliau akan tampil di program Bali Beza yang akan diadakan pada 30hb September 2012 di Map @ Publika. klik di sini untuk maklumat lanjut

3 comments: